Kamis, 19 Juli 2012

PENGUMUMAN AGENDA SKRIPSI



Diumumkan kepada Mahasiswa Prodi Perbankan Syariah bahwa pendaftaran ujian skripsi gelombang I telah dibuka :

A.   Pendaftaran Administrasi :
Tanggal  :  23-30 Juli 2012
Tempat :  Prodi Perbankan Syariah

B.   Syarat - Syarat Ujian Skipsi adalah :
1.       Foto copy bukti setoran SPP dari semester 1 sampai dengan terakhir
2.       Foto copy KTM dilegalisir
3.       Transkip nilai sementara
4.       Lulus ujian komprehensif dibuktikan dengan surat keterangan lulus ujian komprehensif yang asli
5.       Surat keterangan bebas beasiswa uang pinjaman
6.       Surat permohonan telah mengambil mata kuliah dari AK STAIN Curup
7.       Foto copy KHS 1 sampai dengan terakhir dilegalisir 1 rangkap
8.       Foto copy sertifikat magang
9.       Sertifikat Ko.kurikuler minimal 50 skk  dari dosen Pembimbing Akademik dan PK III STAIN Curup
10.  Foto copy Piagam / Sertifikat KKPM
11.  Foto copy Piagam / Sertifikat UPTQ/semua mata kuliah pratikum di buktikan dengan sertifikat
12.  Surat permohonan untuk ujian Skripsi ditujukan kepada Ketua Jurusan Syariah C.q. Ketua Prodi Perbankan Syari’ah (PS).
13.  Foto copy skripsi 4 eksemplar (jilid warna hijau)
14.  Seluruh berkas di masukan dalam map kertas warna hijau.


Demikian pengumuman ini disampaikan agar dapat diindahkan.

Sabtu, 14 Juli 2012

Tafsir Ayat Jual Beli dan Riba

(Surat Al-Baqarah ayat 275 s/d 278)
1. Nash Ayat

Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 yang berbunyi :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(276) إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ(277)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)

Artinya :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275)

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278)


2. Sebab turunnya ayat

Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar adalah orang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan Bani Mughiroh senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekayaan yang banyak. Karennya, datanglah Bani Amer untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis surat balasan yang isinya “ Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.


3. Mufrodat

Beberapa mufrodat yang penting antara lain adalah :
# (يأكلون ) : arti harfiyahnya adalagh memakan, disini berarti mengambil atau memanfaatkan. Karena itulah tujuan utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk dalam mengambil manfaat adalah memakannya.
# (يقومون (: maksudnya bangkit dari kubur mereka
# (يتخبطهم) : artinya kesurupan atau kemasukan syetan
# (يمحق) artinya mengurangkannya dan menghilangkan barakahnya
# (يربي) : artinya menambahkan dan menumbuhkannya serta melipat gandakan ganjarannya.
# (حرب) : arti perang dari Allah dan Rasul-Nya disni adalah diperlakukan seperti seorang bughot (pemberontak) dan sebagai musuh Allah.


4. Hukum yang terkandung di dalamnya

Ayat yang melarang riba ini bila disimak lebih jauh mengandung banyak pengeقtian hukum, diantaranya :
# Dibolehkannya semua praktek jual beli yang tidak ada larangan syar`i di dalamnya. Jual beli sendiri memiliki arti memiliki harta dengan harta melalui ijab qabul dengan keridhaan keduanya.
# Diharamkannya riba dan dimaklumatkan perang dari Allah dan Rasul-Nya.

5. Haramnya Riba Dalam al-Quran dan Sunnah

Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah saw memalui ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash itu adalah sebagi berikut :

# Al-Quran
Al-Quran mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut :

- Tahap Pertama

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 )

Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.

- Tahap Kedua


Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (QS. An-Nisa : 160-61)

Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.

- Tahap Ketiga

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Ali Imron : 130)

Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda.

- Tahap Keempat

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)

Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata (ال) mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi’ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (البيع) yang berarti semua jenis jual beli.

# As-Sunah
As-Sunnah juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya :

لعن رسول الله آكل الربا وموكله وكاتبه و شاهديه وقال : هم سواء

Artinya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama .

Dalam hadits lain disebutkan :
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa,”Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepaa ayah mengapa beliau melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat pembuat gambar.

Dengan dalil-dalil qoth’i di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat sharih dan jelas. Bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang yang menjalankan riba itu.

6. Bunga Bank Adalah Riba Yang Diharamkan

Karena keterbatasan ilmu syariah, masih banyak kalangan umat Islam yang bertanya-tanya tentang kehalalan bunga bank. Kehidupan perekonomian tidak mungkin lagi dilepaskan dari jasa perbankan. Bahkan untuk kepentingan rumah tangga. Padahal umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam banyak transaksinya.

Meskipun praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun masih ada juga mereka yang berusah mencari argumen yang membolehkan. Paling tidak memakruhkan. Umumnya orang-orang yang berdiri di belakang argumen itu masih memandang bahwa pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak mampu atau –mungkin- tidak memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat dalam mengatur ekonominya sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu bila kita telaah secarara jernih dengan nurani yang jujur, maka akan nampak nyata kelemahan-kelemahannya.

Penulis akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara singkat dilengkapi dengan jawaban atas kelemahannya.

a. Alasan Darurat
Alasan darurat adalah alasan paling klasik dan paling sering terdengar atas dibolehkannya bank ribawi. Biasanya dalil yang digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi (الضرورات تبيح المحظورات) artinya dharurat itu membolehkan mahzurot / yang dilarang.

Pendapat seperti ini pada dasarnya mengakui haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun barangkali karena tidak punya alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru, banyak pendapat orang yang dengan terpaksa membolehkannya.

Jawaban :

Pendapat seperti di atas bila dikaitkan dengan kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah fiqiyah yang berkaitan dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu (الضرورات تقدر بقدرها) artinya bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.

As-Suyuti menjelaskan tentang sifat darurat, yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan yang cepat, akan membawa pada jurang kematian. . Padahal bila kita tidak menabung di bank konvensional tetapi di bank syariat, kita tidak akan celaka atau mati.

Sedang Dr. Wahbat Az-Zuhaili menjelaskan bahwa situasi darurat itu seperti seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan itu Allah menghalalkan dengan dua batasan.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqorah : 173).

Sedangkan umat Islam banyak yang menabung di bank konvensional bukan karena hampir mati tidak ada makanan, justru banyak yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata darurat sudah tidak relevan lagi.

Di Indonesia sendiri bank yang berpraktek secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan. Data per Nopember 2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi yaitu :

1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember 1991
2. Bank Syariah Mandiri (BMS) yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang menerapkan syariah. Asetnya kini sekitar 2 sampai 3 trilyun dengan 20 cabangnya.
3. Konversi bank konvensional kepada bank syariah :
* Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999)
* Bank Niaga (akan membuka cabang syariah )
* Bank BNI `46 (telah memiliki 5 cabang )
* Bank BTN (dalam perencanaan)
* Bank Mega (akan menkonversikan anak perusahaannya menjadi syariah)
* Bank BRI (akan membuka cabang syariah)
* Bank Bukopin (akan membuka cabang syariah di Aceh )
* BPD Jabar (telah membuka cabang syariah di Bandung)
* BPD Aceh 

sumber : http://cahyo-prabowo.blogspot.com/2010/01/tafsir-ayat-jual-beli-dan-riba.html
 

Jumat, 13 Juli 2012

Konsep Uang


a.        Uang dalam konsep ekonomi konvensional
Uang berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Mulanya uang berbentuk barang komoditas atau barang barter, kemudian berevolusi ke dalam bentuk mata uang, baik dalam bentuk logam maupun kertas. Meskipun demikian keduanya disahkan dan diakui sebagai alat pembayaran. Dengan adanya uang sebagai alat tukar, maka kegiatan ekonomi (jual beli, tukar menukar) menjadi lebih mudah dilaksanakan. Dengan kata lain, uang muncul sebagai terobosan untuk menghilangkan kesukaran-kesukaran yang diakibatkan proses transaksi dengan sistem barter. Untuk itulah orang menciptakan uang. Menurut teori ekonomi konvensional, uang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi hukum dan dari sisi fungsi. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang, jika ada aturan atau  hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Sementara secara fungsi, yang dikatakan uang adalah segala sesuatu yang menjalankan fungsi sebagai uang, yaitu dapat dijadikan sebagai alat tukar menukar (medium of exchange) dan penyimpan nilai (store of value). Ini adalah pendapat Fisher dan Cambridge. Sementara Keynes mengatakan, bahwa uang berfungsi sebagai alat untuk (1) transaksi, (2) spekulasi dan (3) jaga-jaga (precautionary).
Hadirnya uang dalam sistem perekonomian akan mempengaruhi perekonomian suatu negara, yang biasanya berkaitan dengan kebijakan-kebijakan moneter. Pada umumnya analisis ekonomi suatu negara ditentukan oleh analisis atas ukuran uang yang beredar. Samuelson mengatakan bahwa banyak ekonom percaya bahwa perubahan jumlah uang beredar dalam jangka panjang terutama akan menghasilkan tingkat harga, sedangkan dampaknya terhadap output real, adalah sedikit atau bahkan tidak ada.
b.        Uang dalam konsep ekonomi Islam
Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional kapitalisme Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW, bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.
Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini kita kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang kita sama artikan dengan modal (capital). Uang adalah barang khalayak (masyarakat luas / public goods). Uang, bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang per orang. Jika uang sebagai flow concept sementara modal adalah stock concept.
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan penyimpanan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapat dilakukan proses jual beli hasil produksi. Dengan uang hasil  penjualannya itu, ia dapat membeli barang-barang keperluannya. Jika dengan sengaja orang menumpuk uangnya atau tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli produk-produk di pasaran. Jadi proses jual beli tidak dapat dipisahkan dengan uang.
c.        Fungsi Uang
Secara umum, fungsi uang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Uang sebagai alat tukar
Fungsi uang sebagai alat tukar sebenarnya memisahkan fungsi yang berkaitan dengan keputusan membeli dengan keputusan menjual. Uang sebagai alat tukar-menukar dapat menghilangkan kesamaan keinginan antara pembeli dan penjual sebelum terjadinya pertukaran. Kesamaan keinginan harus ada lebih dahulu untuk terjadinya tukar-menukar barang dengan barang (barter). Dengan adanya uang, maka tidak akan terjadi kesamaan keinginan untuk melakukan pertukaran. Dengan demikian, proses pertukaran berubah: barang ditukar dengan uang, atau dengan uang dapat membeli barang lain.
Uang sebagai satuan pengukur nilai
Dengan adanya uang, nilai suatu barang dapat diukur dan diperbandingkan. Seorang dapat mengukur nilai suatu mobil atau rumah dengan satuan uang, seperti rupiah, dolar, dan sebagainya.

Uang sebagai alat penimbun / penyimpan kekayaan
Harta kekayaan seseorang dapat berupa barang atau uang. Dengan demikian, orang dapat menyimpan kekayaannya dalam bentuk uang kas atau surat-surat berharga.

Sedangkan fungsi uang dalam pandangan Islam, dibagi menjadi dua, yaitu:
1)       Money as flow concept
Uang adalah sesuatu yang mengalir. Sehingga uang diibaratkan seperti air. Jika di sungai itu mengalir, maka air tersebut akan bersih dan sehat. Jika air berhenti (tidak mengalir secara wajar) maka air tersebut menjadi busuk dan berbau. Demikian halnya dengan uang. Uang yang berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka dapat menyebabkan macetnya roda perekonomian, sehingga dapat menyebabkan krisis atau penyakit-penyakit ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam, uang harus diputar terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Untuk itu uang perlu digunakan untuk investasi di sektor riil. Jika uang disimpan tidak diinvestasikan kepada sektor riil, maka tidak akan mendatangkan apa-apa. Penyimpanan uang yang telah mencapai haulnya, menurut ajaran Islam, akan dikenai zakat.
2)       Money as public goods
Uang adalah barang untuk masyarakat banyak. Bukan monopoli perorangan. Sebagai barang umum, maka masyarakat dapat menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh sebab itu, dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan menumpuk uang akan menganggu orang lain menggunakannya. Dari gambaran uang sebagai air yang mengalir dan uang sebagai barang publik, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa ada perbedaan antara modal dengan uang. Kaitan antara uang dengan modal ini dapat dikiaskan antara kendaraan dengan jalan. Kendaraan adalah barang/milik pribadi. Jalan adalah barang/milik umum. Jadi, modal adalah milik pribadi dan uang adalah milik umum. Dengan demikian, kenyamanan berkendaraan akan didapatkan  jika kendaraan tersebut berjalan di atas jalan raya. Dengan kata lain, hanya dengan modal yang diinvestasikan ke sektor riil-lah yang akan mendatangkan pendapatan (berupa uang)

Prinsip-Prinsip Akuntansi Syariah

Berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah masalah akuntansi akan berkait pula dengan prinsip-prinsip syari’ah, karena syari’ah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan falsafah moral. Dengan demikian syari’ah berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia termasuk di dalam hal akuntansi (Muhammad, 2002:112). Wan Ismail Wan Yusoh (2001 dalam Harahap, 2001:212) mengemukakan beberapa syarat sebagai dasar-dasar akuntansi syari’ah, sebagai berikut: 1) benar (truth) dan sah (valid), 2) adil (justice), yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan peruntukannya, diterapkan terhadap semua situasi dan tidak bias, harus dapat memenuhi kebutuhan minimum yang harus dimiliki oleh seseorang, 3) kebaikan (benevolence/ihsan), harus dapat melakukan hal-hal yang lebih baik dari standar dan kebiasaan. Sebenarnya prinsip-prinsip akuntansi konvensional telah mema-sukkan aspek-aspek seperti yang diutarakan di atas hanya saja prinsip conservatism yang selalu membela kepentingan pemilik modal menjadi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah (Adnan, 1997 dalam Harahap, 2001:213).
                Muhammad (2002:114-115) mencoba merumuskan prinsip-prinsip akun-tansi syari’ah dengan membagi dua bagian: 1) berdasarkan pengukuran dan penyingkapan, dan 2) berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana.
                Prinsip akuntansi syari’ah berdasarkan pengukuran dan penyingkapannya terdiri dari, 1) Zakat: penilaian bagian-bagian yang dizakati diukur secara tepat, dibayarkan kepada mustahik sesuai yang dikehendaki oleh Al-Qur’an (delapan asnaf) atau zakat dapat pula disalurkan melalui lembaga zakat yang resmi. 2) Bebas bunga: Entitas harus menghindari adanya bunga dalam pembebanan-pembebanan dari transaksi yang dilakukan, menghindari hal ini akan lebih tepat bila entitas berbentuk bagi hasil atau bentuk lain yang sifatnya tidak memakai instrumen bunga. 3) Halal: menghindari bentuk bisnis yang berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan oleh syari’ah, seperti perjudian, alkohol, prostitusi, atau produk yang haram lainnya. Menghindari transaksi yang bersifat spekulatif, seperti bai’ al-gharar; munabadh dan najash.
                Prinsip akuntansi syari’ah berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana terdiri dari: 1) Ketaqwaan: mengakui bahwa Allah adalah penguasa tertinggi. Allah melihat setiap gerak yang akan diperhitungkan pada hari pembalasan. Dapat membedakan yang benar (al-haq) dan yang salah (al-bathil). Mendapatkan bimbingan dari Allah dalam pengambilan keputusan. Mencari ridha dan barakah Allah dalam menjalankan aktivitas. 2) Kebenaran: visi keberhasilan dan kegagalan yang meluas ke dunia mencapai maslahah. Menjaga dan memperbaiki hubungan baik dengan Allah (hablun min Allah) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (hablun min al-nas). 3) Pertanggungjawaban: Pertanggung-jawaban tertinggi adalah kepada Allah, berlaku amanah. Mengakui kerja adalah ibadah yang selalu dikaitkan dengan norma dan nilai “syari’ah”. Merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Berbuat adil kepada sesama ciptaan Allah, bukan hanya kepada manusia.
                Merujuk dari investigasi yang dilakukan oleh Syahatah (2001:73-92) kaidah akuntansi yang terpenting berdasarkan hasil istimbath dari sumber-sumber hukum Islam (syari’ah), adalah sebagai berikut:
1.     Independensi jaminan keuangan. Perusahaan hendaklah mempunyai sifat yang jelas dan terpisah dari pemilik perusahaan.
2.     Kesinambungan aktivitas. Kaidah ini memandang bahwa aktivitas suatu per-usahaan itu mesti berkesinambungan (terus beraktivitas).
3.     Hauliyah (pentahunan/penetapan periode). Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an (9:36) “sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan ...” jadi periode akuntansi syari’ah lebih tepat memakai putaran tahun, karena hal tersebut juga berhubungan dengan nisab zakat yang menggunakan bilangan tahun.
4.     Pembukuan langsung dan lengkap secara detail. Kaidah ini menghendaki pembukuan secara rinci dalam mencatat transaksi, dimuali dari tanggal, bulan, tahun, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan, hal ini disarkan perintah dalam Al-Qur’an (2:282) “uktubuhu” perintah mencatat kemudian “ila ajalin musamma” menunjukkan suatu tanggal kejadian tertentu.
5.     Pembukuan disertai dengan penjelasan atau penyaksian obyek. Kaidah ini menghendaki pembukuan semua aktivitas ekonomi keangan berdasarkan dokumen-dokumen yang mencakup segia bentuk dan isi secara keseluruhan. Dalam fikih Islam, bentuk ini disesbut pencatatan dengan kesaksian.
6.     Pertambahan laba dalam produksi, serta keberadaannya dalam perdagangan. Dalam fikih islam, laba dianggap sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul (periode akuntansi), baik setelah harta itu diubah dari barang menjadi uang meupun belum berubah. Kaidah inilah yang dipakai dalam menghitung zakat mal.
7.     Penilaian uang berdasarkan emas dan perak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa emas dan perak adalah sebagai wadah sentral dalam penetapan harga (QS, 12:20, 3:75, 9:34)
8.     Prinsip penilaian harga berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Implementasi kaidah ini untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk perusahaan dari segia tingginya volume proses penukaran barang dan kemampuan barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba.
9.     Prinsip perbandingan dalam menentukan laba. Prinsip ini ditujukan untuk menghitung dan mengukur laba atau rugi pada perusahaan mudharabah yang kontinu, serta menentukan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang menghen-daki perbandingan antara beban-beban dan uang masuk selama periode tertentu.
Prinsip muwa’amah (keserasian) antara pernyataan dan kemaslahatan. Catatan akuntansi harus menjelaskan keterangan-keterangan yang telah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupan dan situasi serta metode yang digunakan yang dapat melindungi kemaslahatan serta tidak menimbulkan kemudharatan.
 

Produk Perbankan Syariah

Bank syariah memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi modern saat ini. Peranan dari perbankan syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan dana tersebut. Bank disini sebagai lembaga pelayanan masyarakat yang membutuhkan dana untuk usaha dan kegiatan lainnya.
Secara umum perbankan syariah memiliki tiga produk yaitu:
1.      Produk penghimpunan dana (Funding)
2.      Produk Penyaluran dana (financing)
Penghimpunan dana dari masyarakat kepada bank syariah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.1.1.      Prinsip Al-Wadi’ah
Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki[1]. Landasan hukum adalah surat An-Nisa’ ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(An-Nisa’: 58).
Selain itu terdapat pula dalam hadits Rosulullah yaitu:
Artinya : “Abu Hurairoh Meriwayatkan bahwa Rosulullah saw. Bersabda, “ssampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada kepada yang berhak meneriamanyadan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi hadist ini hasan, sedangkan Imam Hakim mengategorikannya Shahih)
1.1.2.      Prinsip Al-Mudharabah 
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul dan berjalan. Pengertian memukul dan berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha[2].
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seratus persen modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelailaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelailaian si pengelola, si pengelola harus pertanggung jawab atas kerugian tersebut[3].
Firman Allah SWT dalam surat Al-Muzzammil ayat 20 sebagai berikut: 
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Muzzammil: 20)
Yang menjadi dasar dari surat al-Muzzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti “melakukan suatu perjalanan usaha”.

Dasar dari mudharabah juga terdapat dalam hadits rosulullah sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rosulullah saw. Dan rosulullah membolehkannya.” (HR. Thabrani).
Jenis-jenis mudaharabah ada dua yaitu:
a.       Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis[4].
Dalam penerapannya mudharabah muhtlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan Mudharabah dan deposito  mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
b.      Mudharabah Muqayyadah   
Mudharabah Muqayyadah ini terbagi menjadi dua:
i.     Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet adalah kerjasama antara shohibul maal  dengan Mudharib yang pengelolaan usahanya dibatasi dalam jenis, waktu, atau tempat usaha.
Dalam penerapannya  Mudharabah Muqayyadah dapat berupa investasi khusus, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh  shahibul maal.
ii.   Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis Mudharabah ini merupakan penyaluran dana langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.
Karakteristik dari simpanan ini adalah sebagai berikut:
                                                                                         i.            Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
                                                                                       ii.            Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
                                                                                     iii.            Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak.
1.1.3.      Al-Musyarakah
AI-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan[5] . Landasan syariah terdapat dalam Qur’an surat Shaad ayat 24 yang artinya sebagai berikut:
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat lalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat lalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat (Q.S. Shaad:24)
Dalam hadits Rosulullah juga terdapat dasar dari kegiatan musyarakah ini yaitu sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah, Rosulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.”(HR Abu Dawud no.2936, dalam kitab al-buyu, dan Hakim).
Musyarakah ada dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan Musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan terbentuk karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan Musyarakah akad terbentuk dengan kesepakatan antara dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberiakn modal musyarakah . Musyarakah akad terbagi menjadi lima yaitu :
a.      Syirkah Al- ‘Inan adalah para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama.
b.      Syirkah Mufawadhah adalah para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang sama.
c.       Syirkah A’maal (abdan) adalah dimana terjadi percampuran jasa-jasa antara orang yang berserikat.
d.      Syirkah Wujuh adalah terjadi percampuran antara modal dengan reputasi  nama baik seseorang.
e.       Syirkah al-Mudharabah adalah percampuran antara modal dengan jasa dari pihak-pihak yang berserikat[6].
Produk ini dalam aplikasi perbankan syariah dapat diterapkan pada pembiayaan proyek dan modal ventura[7].

1.1.4.      Al-Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam transaksi ini bank sebagai pihak penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan meningkatkan keuntungan yang diinginkan.
Landasan dari produk Al-Murabahah adalah Al-Baqarah ayat 275:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Al-Murabahah dapat diterapkan dalam perbankan syariah dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
b.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.       Kontrak harus bebas dari riba
d.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesui pembelian.
e.       Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, mislanya jika pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), dan (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
a.       Melanjutkan pembelian seperti apa adanya,
b.      Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual,
c.       Membatalkan kontrak.
Jual beli secara al-murabahah diatas hanya untuk barang atau produk yang telah dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila produk tersebut tidak dimiliki penjual, sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesan pembeli (murabahah KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya.
1.1.5.      Bai’ as-Salam
Dalam pengertiannya Bai’ as-Salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.
Landasan syariah adalah dalam surat Al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya……”(Al-Baqarah : 282)
Rukun dari Bai’ as-Salam  adalah sebagai berikut:
a.       Muslam (pembeli)
b.      Muslam ilaih (penjual)
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi (barang)
e.       Sighat (ucapan)
Aplikasi dari transaksi ini adalah dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relative pendek dan juga bisa untuk dunia industri.
1.1.6.      Bai’ Istishna
Kontak pejualan seperti akad salam namun pembayarannya dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Diterpakan dalam pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Tidak lupa Bank syariah juga mempunyai produk pelengkap danataranya:
a.       Rahn (Gadai)
b.      Al-Qardhul Hasan (pinjaman kebajikan)
c.       Kafalah (bank garansi)
d.    Hawalah (alih hutang piutang)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons