Kamis, 31 Mei 2012

Ushul Fiqh Dan Ulama Ekonomi Syariah

Ushul Fiqh Dan Ulama Ekonomi Syariah

Ditulis oleh Agustianto   
Perkembangan ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah,  reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya.

Dalam mengembangkan dan memajukan  lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Selain itu, ekonomi syariah bukan saja dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan, tetapi juga meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti ekonomi makro ( kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah,  kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan dan pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti  upah dan perburuhan, dan sebagainya.
Sepanjang subjek  itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama syariah menjadi niscaya. Ulama ekonomi syariah berperan : 1. berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan  yang muncul baik skala mikro maupun makro. 2. Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syariah, 3. Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah dijalankan sesuai syariah.

Untuk menjadi ulama ekonomi syariah dengan tugas seperti itu, diperlukan sejumlah syarat/kualifikasi. Kualifikasi ini diperlukan, karena ulama ekonomi syariah berperan mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan ekonomi syariah melalui ijtihad. Ijtihad merupakan pekerjaan para ulama dalam menjawab persoalan-persoalan hukum syariah dan  memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul.
Menurut disiplin ilmu ushul fiqh, salah satu syarat yang harus dimiliki ulama yang bertugas  berijtihad adalah menguasai ilmu ushul fiqh. Tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh, maka keberadaannya sangat diragukan, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ulama ekonomi syariah. Demikian pula halnya dengan figur  yang duduk sebagai majlis fatwa, dewan syariah atau dewan pengawas syariah yang senantiasa menghadapi masalah-masalah ekonomi syariah, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu ushul fiqh dan perangkat ilmu syariah yang terkait.

Urgensi dan kedudukan ilmu ushul fiqh
    Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui  ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’  (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” .  
Senada dengan itu, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainya adalah  hadits dan bahasa Arab. Prof. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah adalah bagian dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya berbagai transaksi bisnis modern, halal haramnya bentuk bisnis tertentu.   memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah (dewan syariah), harus  menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam karena ilmu ini diperlukan untuk berijitihad.
Seorang ulama ekonomi syariah yang menduduki posisi sebagai dewan pengawas syariah apalagi sebagai Dewan Syariah Nasional, mestilah menguasai ilmu ushul fiqh bersama ilmu-ilmu terkait, seperti qaw’aid fiqh, tarikh tasyri’, falsafah hukum Islam, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, dan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Oleh karena penting dan strategisnya penguasaan ilmu ushul fiqh, maka untuk  menjadi seorang faqih (ahli fiqh), tidak diharuskan membaca seluruh kitab-kitab fiqh secara luas dan detail,  cukup mengetahui sebagian saja asal ia memiliki kemampuan ilmu ushul fiqh,  yaitu kemampuan  istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at, baik ijtihad istimbathy maupun ijtihad tathbiqy.  Metodologi istimbath tersebut disebut ushul fiqh. Demikianlah pentingnya ilmu ushul fiqh bagi seorang ulama.
Termasuk dalam lingkup ushul fiqh adalah pengetahuan maqashid syariah. Seorang ulama ekonomi syariah harus memahami konsep maqashid syariah dan penerapannya. Untuk menguasai ilmu maqashid syariah, harus dibaca buku-buku tentang ilmu maqashid syariah, seperti, Al-Muwafaqat karangan Imam Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil karangan Imam Al-Ghazali, I’lamul Muwaqqi’in, karangan Ibnu Al-Qayyim, Qawa’id Ahkam fi Masholih al-Anam, karya  Izzuddin Abdus Salam  (660 H),  kitab Maqashid al- Syariah karya Muhammad Thahir Ibnu ’Ashur ( Tunisia, 1946, ) Al-Ijtihad karya Prof. Dr Yusuf Musa, dan sebagainya. Sedangkan untuk menguasai ilmu ushul  fiqh secara mendalam minimal seorang ulama membaca 100 buku ushul fiqh. (Daftar buku ushul dipaparkan pada tulisan kedua artikel ini)
Dalam ilmu ushul fiqh dipelajari berbagai macam obyek kajian, seperti :
1.    Kaedah-kaedah ushul fiqh kulliyah yang digunakan dalam mengistimbath hukum dan cara menggunakanya. Dengan mempelajari ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah akan mengetahui metode ijtihad para ulama.
2.    Sumber-sumber hukum Islam ; Al-quran, Sunnah, dan Ijma’, serta metode perumusan hukum Islam, seperti  qiyas, maslahah mursalah , istihsan, sadduz zari’ah, mazhab shahabi,’urf, qaul shahaby, dll.
3.    Konsep Ijtihad dan syarat-syarat menjadi ulama mujtahid, juga konsep fatwa
4.    Konsep qath’iy dan  zhanniy dalam Alquran dan Sunnah,
5.    Prioritas kehujjahan dalil-dalil syara’, dsb.

Selain ilmu ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai qawa’id  fiqh, khususnya yang terkait dengan qawa’id fiqh ekonomi (muamalah). Kitab-kitab qawa’id fiqh sangat luas dan beragam dari berbagai mazhab. Seorang ulama ekonomi syariah tidak cukup meguasai kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Al-Suyuthy, Qawa’id Fiqhiyyah An-Nadawi,  atau Al_Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah : Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani di masa lampau (1876), karena Qanun ekonomi Islam tersebut  hanya berisi 100 qaidah fiqh ekonomi dan terlalu Hanafi centris. Namun demikian, Al-majallah ini seharusnya menjadi buku wajib pada mata kuliah qawaid fiqh di jurusan perbankan dan  ekonomi syariah di IAIN/UIN. Di jurusan ekonomi Islam, jangan lagi diajarkan qawaid fiqh  yang penuh munakahat, ibadah dan jinayat. Qawaid fiqh pada tiga bidang ini difokuskan di jurusan lain.  Sedangkan jurusan ekonomi syariah atau perbankan syariah hanya membahas qawaid fiqh tentang ekonomi keuangan.
Selain syarat menguasai ilmu ushul fiqh, maqashid dan qawa’id fiqh, seorang ulama ekonomi syariah juga harus menguasai ayat-ayat hukum. Menurut Imam Al-Ghazali, seorang ulama mujtahid paling tidak menguasai 500 ayat –ayat hukum syariah.  Pendapat Imam Al-Ghazali, meskipun tidak relevan menjadi syarat ulama ekonomi syariah, karena 500 ayat tersebut mencakup munakahat, dan jinayat dan hukum  dil luar ekonomi. Namun syarat tersebut harus menjadi pertimbangan dalam hal penguasaan ayat-ayat bagi ulama ekonomi syariah.
Jadi,  paling tidak  ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai 370 ayat tentang ekonomi dalam Al-quran. Menurut C.C. Torrey dalam buku The Commercial Theological Term in the Quran dan Dr. Mustaq Ahmad dalam  Etika Ekonomi dalam Al-Quran, bahwa di dalam Al-quran tedapat 370 ayat tentang  bisnis. Maka semua ini harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah. Selain itu, ulama ekonomi syariah juga harus menguasai  minimal 1354 hadits-hadits ekonomi, ditambah ilmu mushthalah hadits. Angka 1354 hadits didasarkan pada jumlah hadits yang terdapat pada Mushammaf Abdul Razzaq. Sedangkan dalam sunan Baihaqi terdapat 1145 hadits, dalam kitab Mustafrak terdapat 1000 hadits yang terdiri dari  639 bab pembahasan.  Oleh karena banyaknya ayat dan hadits tentang ekonomi dan bisnis, maka di seluruh program pascasarjana ekonomi keuangan Islam, materi  ayat dan hadits ekonomi ini dijadikan sebagai mata kuliah wajib.
Dalam konteks pemahaman ayat-ayat ekonomi, seorang ulama ekonomi syariah harus mengeatahui  asbabun nuzul, juga masalah-masalah yang telah diijma’iy ulama (baca buku ensiklopedi ijma’), syarat-syarat ijma’, metode qiyas, metode maslahah, ishtihsan, ‘urf, sadd al-zari’ah, qaul shahabi, dan sebagainya.
Melihat, sejumlah syarat-syarat yang harus dimiliki ulama ekonomi syariah, ada tiga hal yang menjadi catatan.
Pertama, kelihatannya menjadi ulama ekonomi syariah tersebut, sangat sulit, tetapi  bagi generasi yang hidup dan bergelut dengan tradisi keilmuan syariah sejak usia dini, memenuhi syarat-syarat itu tidaklah terlalu sulit. Maka, jika kita mau jujur, ikhlas, dan terbuka,  masih ada ahli-ahli syariah di Indonesia yang memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang ushul fiqh dan sekaligus  tentang ekonomi Islam. Majlis Ulama Indonesia dan bank-bank syariah harus secara cerdas memilih dan mempertahankan para ahli syariah yang memenuhi kualifikasi yang memadai dan bisa diandalkan.
Kedua, para mahasiswa pascasarjana jurusan ekonomi syariah di manapun berada, tidak perlu berkecil hati, jika bukan dibesarkan dari pendidikan syariah yang arabic (Ibtidaiyah salafi, Tsanawiyah salafi dan Aliyah salafi). Maksud sekolah salafi adalah sekolah yang semua rujukan pelajarannya berbahasa Arab, kitab kuning), dan tak perlu juga berkecil hati jika bukan berasal dari sarjana syariah, karena tujuan belajar ilmu ushul fiqh di program ekonomi syariah di Perguruan Tinggi Umum, bukanlah untuk menjadi mujtahid (ulama) yang ahli ushul fiqh, pakar ushul fiqh atau dosen ushul fiqh yang handal,  tetapi targetnya sekedar untuk : 1. Memahami dan mengetahui metode istimbath para ulama dalam menetapkan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi keuangan, 2. Mengetahui kaedah-kaedah ushul fiqh dan qawaid fikih dan cara menerapkannya 3. Mengetahui dalil-dalil hukum ekonomi Islam dan proses ijtihad ulama dari dalil-dalil yang ada.4, Mengetahui sumber-sumber hukum ekonomi Islam dan keterkaitannya dengan epistemologi ekonomi Islam. 5. Mengetahui prinsip-prinsip umum syariah yang ditarik dari Al-quran dan sunnah.
Hal itu sama dengan seorang sarjana syariah belajar ekonometrik. Tujuannya bukanlah menjadi pakar ekonometrik, atau dosen ekonometrik, tetapi dapat menerapkannya dalam metode penelitian ekonomi, mengukur berbagai macam resiko, dan sebagainya. Dengan berbekal ilmu ushul fiqh, seorang mahasiswa pascasarjana sudah dapat menjadi konsultan ekonomi syariah, Dewan Pengawas Syariah, menjadi praktsi ekonomi syariah yang memahami metode menetapkan hukum ekonomi Islam, juga menjadi officer atau ALCO di bank-bank syarah.
Ketiga, keharusan belajar ilmu ekonomi keuangan  dan ushul fiqh secara ekstra. Ulama yang ahli syariah, jika diminta dan diberi amanah  menjadi Dewan Pengawas Syariah, misalnya, seharusnya memiliki ghirah yang kuat untuk mendalami dan mempelajari ilmu ekonomi dan perbankan serta keuangan, sebab tanpa bekal ilmu ekonomi dan perbankan, maka rumusan fatwa bisa tidak tepat dan kaku. Ulama  yang menjadi DPS wajib belajar ilmu ekonomi makro, agar memahami secara ilmiah, rasional (akal), mengapa bunga bank diharamkan. Tanpa pengetahuan ilmu ekonomi makro, para ulama tidak akan bisa memberikan jawaban / alasan yang memuaskan mengapa bunga bank itu sangat terkutuk dan termasuk dosa terbesar. Selain itu, DPS wajib belajar akuntansi secara  sederhana, agar bisa membaca laporan keuangan lembaga keuangan syariah.  Sedangkan bagi Dewan Pengawas Syariah atau anggota Dewan Syariah Nasional yang bukan berasal dari latar pendidikan ilmu syariah, tidak segan-segan belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah lainnya kepada ahli ushul fiqh yang memahami ekonomi keuangan, juga belajar ilmu maqashid, falsafah tasyri’ dan tarikh tasyri’, juga ilmu bahasa Arab, tafsir ayat-ayat ekonomi, hadits-hadits ekonomi. Upaya integrasi ilmu ini menjadi keniscayaan, agar  di masa depan dikhotomi ahli ilmu syariah dan ahli ekonomi umum dapat dihilangkan secara bertahap. Pada gilirannya nanti, sejalan dengan berkembangnya program doktor (S3) ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi dunia dan Indonesia, figur integratif yang menguasai dua bidang keilmuan sekaligus dapat diwujudkan.
Para ulama  ekonomi syariah (Dosen Perguruan Tinggi, DPS dan DSN)  yang belum mendalami ilmu ushul fiqh harus membaca sejumlah kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal, agar bisa memahami dasar-dasar ilmu ushul fiqh dan maqashid syariah. Sarjana ekonomi umum memang sulit menjadi ahli ushul fiqh. Namun pemahaman pokok-pokoknya tidaklah terlalu sulit asalkan mau dan serius belajar, khususnya di Perguruan Tinggi.
Menurut Ibnu Taymiyah, untuk menjadi ahli di bidang tertentu, seperti ushul fiqh, paling tidak menguasai (mempelajari) seratus buku ushul fiqh. Upaya untuk menjadi ahli ilmu ushul fiqh secara mendalam hanyalah melalui proses pendidikan panjang dan intensif, seperti melalui pendidikan pesantren salafi, selanjutnya dikembangkan di Perguruan Tinggi S1, S2 dan S3. Di pesantren salafi (kitab kuning) buku-buku ushul fiqh yang dibaca sangat terbatas, karena tidak ada tradisi membuat makalah dan presentasi dengan membaca puluhan buku ushul fiqh, tetapi di Perguruan Tinggi Islam, seorang mahasiswa yang mendalami ushul fiqh dapat membaca puluhan, belasan, bahkan seratusan buku-buku ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah yang terkait. Hal itu dikarenakan mahasiwa diwajibkan membuat makalah atau membuat karya ilmiah skripsi atau tesis yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Fakultas Syariah IAIN/UIN/STAIN, merupakan lembaga kajian ilmu-ilmu syariah, yang secara intensif mengkaji ilmu ushul fiqh, qawai’d fiqh dan ilmu syariah  yang terkait. Sudah Menjadi tradisi dan lumrah dalam pembuatan skripsi tentang ushul fiqh, mahasiswa membaca seratusan kitab ushul fiqh dan disiplin ilmu syariah yang terkait.
Mahasiswa unggulan dan terbaik dari perguruan tinggi Islam tersebut dapat menjadi calon ilmuwan ushul fiqh jika dia mengembangkan lagi di program pascasarjana S2 dan S3 ekonomi syariah atau program studi syariah saja. Ketika memasuki jenjang S3, seorang sarjana syariah seharusnya bisa menjadi mujtahid (bukan mujtahid mutlak), asalkan memenuhi sejumlah syarat yang dikemukakan di atas. Namun harus dicatat masih banyak sarjana syariah yang belum memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Indikatornya mudah sekali diukur antara lain, kemampuan bahasa Arab, kemampuan berijtihad dengan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh, kemampuan penguasaan ayat-ayat al-quran dan tafsirnya (khususnya tentang ekonomi), juga kemampuan ilmu hadits-hadits. Jika keempat  indikator ini saja tidak beres, maka kedudukan sebagai calon ulama ekonomi syariah menjadi gugur.
Namun harus dicatat, jika 4 indikator dasar tersebut sudah dipenuhi, seseorang belum tentu bisa menjadi ulama ekonomi syariah, karena dia disyaratkan harus menguasai ilmu ekonomi syariah,  teknik perbankan dan keuangan. Syarat untuk menguasai ilmu ekonomi syariah tidak bisa tidak, harus belajar dulu ilmu ekonomi konvensional, baik mikro maupun makro, bahkan ilmu ekonomi pembangunan, public finance, ilmu akuntansi dan perbankan dan lembaga keuangan. Semua ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal atau training berkelanjutan.
Buku-buku yang terkait kuat dengan ushul fiqh juga harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah, seperti kitab-kitab tarikh tasyri’, fiqh muamalah klasik dan kontemporer, perbandingan mazhab, qawaid fiqh,  falsafah asyri’ atau falsafah hukum Islam. Sulit menyebutkan nama-nama kitab yang direkomenfasikan untuk dikuasai para ulama ekonomi syariah, karena ruangan yang terbatas. Sekedar contoh, untuk menguasai ilmu tarikh tasyri’, ulama ekonomi syariah minimal membaca buku Tarikh Tasyri’ Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Muhammad Ali Al-Sayis, Tarikh Mazahib al-Islamiyah Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Tasyrik Khudhriy Beyk dan sebagainya. DI IAIN belasan buku tarikh tasyrik menjadi buku wajib untuk mata kuliah bersangkutan.
Di masa depan, kita mengharapkan di Indonesia, lahir ulama-ulama ekonomi syariah yang menguasai dengan baik ilmu-ilmu syariah dan sekaligus ilmu-ilmu ekonomi keuangan. Mereka ini akan menjadi pelita ummat, tidak saja mendesign akad-akad secara inovatif,  tetapi juga mengawal kesyariahan produk-produk lembaga keuangan Islam,  dapat mencerahkan bangsa dan masyarakat dunia dengan ekonomi syariah. Ulama ini juga akan dapat berdialog secara ilmiah dengan para doktor ekonomi Islam yang ahli matematik, ekonometrik dan ilmu-ilmu alat tingkat tinggi lainnya.

Etika Bisnis dalam Perpektif Islam

Etika Bisnis dalam Perpektif Islam

Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq   
Wacana Etika dalam BisnisPerbincangan tentang  "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor". 
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang  nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber  dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun  di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.
Etika Islam Tentang BisnisDalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga"  (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
 Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak  harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika  oreientasi bisnis dan upaya investasi  akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam,  bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada  falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"

Sekali lagi  anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam.
* Cendekiawan Muslim, Dosen STAIN. Ketua MES, Komisi Dakwah MUI Cirebon,  Ketua Dewan Dakwah Korwil Cirebon

Metodologi Ekonomi Islam

Metodologi Ekonomi Islam

Ditulis oleh Muhammad Imaduddin*   
Selama ini kalau kita berbicara tentang muamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.

Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan  bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.

Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.

Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.

Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996).  Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.

Wallahu ‘alamu bishowwab.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons