Rabu, 22 Februari 2012

TOT Perbankan Syariah

Bank Syariah: selalu mengecewakan?


Oleh: Ali Sakti
Bengkulu, memberikan pengalaman yang berbeda, bukan hanya untuk pertama kalinya saya mengunjungi provinsi ini tetapi juga mendapatkan antusiasme yang lebih dari para peserta TOT Perbankan Syariah. Sebelumnya Bengkulu merupakan salah satu provinsi yang saya tidak begitu tahu kondisinya, baik suasana kota maupun kondisi penduduknya, makanya saya pun antusias untuk dating dan menghadiri sesi berbagi ilmu di Bengkulu.
TOT yang ditujukan untuk up-grading pengetahuan para dosen dari beberapa perguruan tinggi di provinsi Benkulu, biasanya dihadiri dengan kurang sepenuh hati oleh para dosen, mengingat dosen biasanya memiliki egoism tersendiri dengan kompetensi yang telah mereka miliki. Tetapi untuk Bengkulu kekhawatiran itu pupus pada hari pertama penyelenggaraan TOT tersebut. Antusiasme para dosen membuat saya mendapatkan semangat lain dalam berbagi ilmu. Bahkan Ketua STAIN Bengkulu berkeras dan berkomitmen untuk ikut sebagai peserta pada setiap sesi TOT yang ada, jarang sekali terjadi.

Begitu juga ketika saya harus mengisi kuliah umum bagi para mahasiswa, meski saat itu adalah saat liburan, tetapi tak kurang dari 200 peserta dapat hadir. Ternyata beberapa dosen juga tertarik untuk hadir dalam kuliah umum ini. Pertanyaan dari para peserta juga menunjukkan keingintahuan tinggi pada disiplin ilmu ekonomi, keuangan dan perbankan syariah. Yang menjadi perhatian saya dan kemudian menyita waktu saya untuk berfikir meski pertanyaan itu sudah saya jawab adalah satu pertanyaan yang selalu muncul pada setiap sesi diskusi tentang perbankan syariah dimana saja kapan saja, yaitu pertanyaan tentang pelayanan operasional bank syariah yang mengecewakan, entah itu produk dan harganya, aplikasi transaksi atau akadnya maupun fasilitas dan pelayanan pegawainya.
Nah, isu ini yang ingin saya diskusikan kali ini. Dalam banyak forum sebelum ini pesan sentral saya untuk bank syariah adalah willingness dari banyak pihak untuk dapat menerima kenyataan bahwa bank syariah merupakan entitas baru lembaga keuangan. Dari aspek usia dan size industri, pengalaman dan keahlian sampai dengan fasilitas dan infrastruktur, perbankan syariah masihlah minim, sehingga pelayanan jasa perbankan menjadi logis tidak optimal. Kekurangan ini selain menuntut perbaikan tentu saja mau tidak mau menuntut pula pemakluman. Dalam bahasa saya ia menuntut pengorbanan, khususnya dari para penikmat jasanya.

Memang tidak selayaknya dalam dunia bisnis membebankan kemajuan industri kepada pelanggan, tetapi wajar bagi saya mengingat nature bisnis syariah menuntut kondisi tertentu pada sisi pelanggan atau pemakai jasa bisnis ini. Lagi pula industri ini memang muncul dari desakan demand pada masyarakat pengguna yang menuntut adanya pelayanan jasa keuangan yang sesuai dengan keyakinan pelanggannya. Sehingga ketika bisnis ini muncul, tentu layaknya industri baru, ia belum mampu tampil sempurna seperti bisnis mapan dengan usia yang telah lama apalagi pengetahuan dan keahlian dari bisnis perbankan syariah masih terus dikenali dan digali. Oleh sebab alasan itu, jawaban saya masih terus berkutat pada pembangunan willingness untuk memahami dan kemudian memaklumi semua ketidak-optimalan itu, dengan bingkai berfikir bahwa itu semua merupakan bentuk pengorbanan dari satu perjuangan memunculkan dan memapankan industri Islami ditengah masyarakat.
Kekecewaan, ketidakpuasan dan ketidaksempurnaan pelayanan oleh industri perbankan syariah pada semua aspek, pada tahap awal harus disikapi dengan kaca-mata perjuangan. Karena memang definisi pejuang dalam urusan ini tidak dipanggul seorang diri oleh pelaku bisnis, tetapi semua pihak dalam industri baik dari sisi supply maupun sisi demand. Dan kenyataannya memang harus seperti itu, masyarakat harus berkorban, kekecewaan dan ketidakpuasan tidak harus (tidak boleh) disikapi dengan beralih ke bank konvensional, karena menjadi tidak logis pejuang meninggalkan medan pertempuran bahkan beralih menjadi bagian dari pasukan musuh hanya karena “pedangnya tumpul”.
Saya fikir masih ada seribu alasan lagi untuk tidak menjustifikasi ketidakpuasan itu. Tetapi kini, perlahan saya mulai mengalihkan focus jawaban dan diskusi saya pada sisi supply. Waktu yang disediakan oleh pelanggan dalam bentuk pengorbanan dan kesabaran mungkin akan memiliki batas, dan sebelum sampai pada batasnya sebaiknya para praktisi atau pelaku bisnis bank syariah sudah memiliki jawaban untuk masyarakat. Jawaban yang dibutuhkan tentu bukan lisan dan beribu alasan untuk kembali menjustifikasi kekurangan mereka, tetapi berupa perbaikan pelayanan, peningkatan keahlian dan pelengkapan fasilitas.
20 tahun perbankan syariah telah menjadi isu yang membuat banyak pihak membicarakan dan mendalami pengetahuan sekaligus keahlian industri ini. Dan telah 10 tahun industri ini melakukan pemapanan industrinya di tengah masyarakat dan dunia usaha. Regulasi berupa undang-undang perlahan terlengkapi, pendidikan formal juga non-formal terbentuk untuk spesifikasi pengetahuan dan keahlian bidang ini, infrastruktur terkaitpun bertahap membentuk dan menyempurnakan industri, sehingga wajar tuntutannya adalah optimalitas pelayanan bagi masyarakat.
Dahulu praktisi perbankan syariah masih di dominasi oleh pegawai yang berasal dari bank-bank konvensional pada semua level. Proses pendidikan non-formal berdurasi singkat yang membuat mereka layak menjalankan roda bank syariah. Proses itu menjadi keniscayaan dan realita atas kebutuhan jangka pendek industri ini. Namun kini, perlahan dan bertahap khususnya pada level dasar posisi praktisi mulai diisi oleh para fresh graduate yang ketika mahasiswa dulu menjadi pelopor pembelajaran formal ekonomi, keuangan dan perbankan syariah di perguruan-perguruan tinggi. Dengan demikian, diharapkan generasi “baru” ini mampu menjawab tantangan yang telah menjadi isu besar di perbankan syariah sejak lama, yaitu optimalisasi pelayanan bagi masyarakat.
Masalah pelayanan yang birokratif, lama dan rumit, mahalnya harga, terbatasnya ATM, internet, mobile banking dan fasilitas lainnya, produk yang belum mampu melayani semua kebutuhan, serta pelayanan pelanggan yang jauh dari kelaziman perbankan, menuntut kerja keras dan komitmen yang lebih dari para praktisi. Kepada mereka yang dulu ada dalam barisan pejuang dan pelopor ditingkat mahasiswa, kini waktunya membuktikan idealisme dan komitmen yang sudah ditumpuk pada masa pendidikan dahulu. Pada saat ini bukan lagi semangat diskusi dan aktifitas akademis yang dibutuhkan tetapi kemampuan pelayanan dan inovasi. Semangat jangan dikaburkan oleh situasi industri yang bersifat komersial, perjuangan tetap perjuangan, semangat tetap bersumber dari idealism jangan alihkan pada besar kecilnya gaji atau kompensasi.
Betul akan ada tuntutan remunerasi tetapi yakinlah bahwa selain memang ia merupakan hak, ia juga sudah akan berjalan sesuai scenario rejeki yang telah genap ketetapannya oleh Tuhan. Rejeki tidak akan tertukar, tidak akan kurang atau lebih. Jadi, jika aspek remunerasi itu sudah terlaksana dengan maksimal kemampuan, focus dan konsentrasilah dalam proses perjuangan. Kedudukan praktisi sebaiknya juga disemangati oleh persepsi sebuah misi. Kerja-kerja praktisi tidak melulu ada pada domain kerja nafkah tetapi merupakan bagian dari kerja-kerja dakwah.
Dengan persepsi kerja dakwah, maka benahi semua kerja dari aspek yang paling kecil hingga kerja-kerja utama. Profesionalitas kerja akan sempurna ketika dilengkapi oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan dan sungguh-sungguh yang selama ini dikenal dalam kerja dakwah. Dari bolos kantor, bermalasan dan mencuri-curi baik waktu maupun materi dari kerja menjadi sesuatu yang mengganggu hati. Ingat nasehat para ustadz kita dulu dan kini, jika mereka yang membangun system keburukan begitu profesionalnya, mengapa kita yang jelas-jelas tengah membangun system kebaikan masih sibuk dengan hal-hal yang tidak penting? Mengapa dahulu kita begitu total tanpa pamrih dalam kerja dakwah, meski dakwah hanya menjanjikan kebaikan-kebaikan berupa pahala dan guguran dosa, mengapa ketika kini kerja dakwah anda begitu pragmatis padahal selain janji kebaikan seperti dahulu kini Allah tambah kebaikan itu dengan nafkah.
Layaknya dakwah jika dahulu anda senantiasa mendoakan binaan-binaan dakwah anda, kini sepatutnya doa-doa semacam itu anda lantunkan pula untuk lembaga dan pelanggan-pelanggan anda. Misalnya sebagai account officer sangat baik anda mendoakan kelancaran bisnis customer anda, sebagai customer service baik pula jika anda doakan keberkahan nafkah investor anda, sehingga semuanya berjalan baik pada sisi metafisik yang non-teknis dan non-material. Sebagai product engineering, inilah saatnya anda keluar dari kelaziman banker baik cara berfikir dan berinovasi, kenali betul logika bank syariah dimana kombinasi orientasi profit dan edukasi dakwah berpadu dalam produk-produk bank syariah. Semoga produk bank anda bukan hanya berorientasi pada keuntungan individual bank anda tetapi juga mempertimbangkan pelayanan untuk terwujudnya kemandirian ummat, memperluas kesempatan berusaha bagi sebanyak-banyaknya ummat. Kunjungi banyak pasar, ladang dan kebun serta pusat-pusat usaha lainnya, interaksi dengan mereka, serap kebutuhan mereka dan olah itu semua dalam inovasi-inovasi produk. Semoga Allah buka fikiran dan penuhi benak anda dengan inspirasi juga ilham yang penuh berkah, sesuai janji-Nya, bahwa Allah akan bantu semua usaha-usaha kebaikan meski saat ini anda merasa buntu dalam berfikir dan merenung.
Di lain sisi, boleh jadi masyarakat tidak selalu puas diimingi produk dengan janji-janji tingginya return produk anda, boleh jadi mereka sudah muak dan jenuh dengan itu. Perlakukan mereka sebagai objek dakwah yang dahaga pada semua perbuatan baik. Kabarkan pada mereka bahwa investasi-investasi yang menggunakan uang mereka sudah membantu sekian banyak pengusaha mikro dan kecil, sudah membuat banyak pedagang dan petani kecil terbantu usaha mereka, sudah membantu sekian banyak masyarakat dhuafa, sudah menjaga kelestarian alam, sudah membesarkan lembaga-lembaga dakwah termasuk bank syariah, sudah semakin memperbanyak orang bekerja dalam industri keuangan yang lebih berkah. Mungkin informasi-informasi seperti ini yang lebih menentramkan shareholder anda ketika membaca financial statement anda. Bayangkan bank syariah anda kesuksesannya bukan lagi hanya bergantung pada kinerja-kinerja teknis, tetapi ia didukung pula oleh doa-doa keberkahan dari pegawai, pemegang saham dan nasabah-nasabah anda. Subhanallah.
Sumber: www.abiaqsa.blogspot.com

IMF tertarik dengan Ekonomi Syariah

IMF tertarik dengan Ekonomi Syariah Yang Berkembang di Indonesia



IMF tertarik dengan Ekonomi Syariah Yang Berkembang di Indonesia : Di saat carut marutnya tatanan ekonomi di negeri ini, dimana kesenjangan sosial ekonomi begitu mencolok ada secerca solusi yang sebenernya sudah di kenal masyarakat Indonesia sejak lama akan tetapi baru di kembangkan akhir – akhir ini, Yaitu sistem Ekonomi Syariah. Dan ternyata Sistem Ekonomi Syariah ini banyak menarik minat dari berbagai universitas di tanah air untuk mempelajarinya secara formal, bukan itu saja, Salah satu pengelola keuangan Dunia, IMF juga tertarik dengan Sistem Ekonomi Syariah ini, sehingga kini IMF berusaha untuk mempelari secara lebih mendalam lagi tentang Ekonomi Syariah yang sedang berkembang di Indonesia dan juga akan menjalin kerja sama.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), sekaligus ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Muliaman D Haddad, mengaku saat ini IMF sangat getol untuk mempererat dan menjalin hubungan dengan masyarakat syariah.
"Ini (ekonomi syariah) akan menjadi tema penting ke depan, mungkin 5-10 tahun yang lalu syariah masih asing bagi imf atau bank dunia. Sekarang sudah sangat getol mempercepat hubungan mereka dengan syariah," ungkap Muliaman dalam pidatonya dalam acara pelantikan Pengurus Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAEI) di Gedung Kemenkeu, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat (20/10/2011).
Bukan hanya itu, dia juga mengaku, sekarang ini Bank Dunia sudah mulai melakukan pembicaraan atau diskusi dengan masyarakat ekonomi syariah. "Mulai ada pembicaraan pakar dan seminar-seminar," tambahnya
Menurut Muliaman, ini merupakan topik yang penting untuk menyongsong perekonomian ke depannya. Bukan hanya IMF, Muliaman juga mengatakan universitas-universitas di Indonesia juga banyak yang tertarik dengan ekonomi syariah, sehingga universitas ini meminta study ekonomi syariah dimasukkan dalam kurikulum.
"Ini akan jadi topik penting dalam perjalanan ke depan. Dan juga lebih dari 100 universitas menawarkan studi ekonomi syariah," pungkasnya.

MLM, Fatwa Ulama Indonesia Atau Ulama Saudi yang Kita Ikuti??

MLM, Fatwa Ulama Indonesia Atau Ulama Saudi yang Kita Ikuti??

Akhir-akhir ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia kembali marak dengan sistem perdagangan yang dikenal dengan istilah Multi Level Marketing yang disingkat MLM. Sistem perdagangan ini dipraktekkan oleh berbagai perusahaan, baik yang berskala lokal, nasional, regional maupun internasional. Baik yang di dunia real ataupun dunia maya. Bagaimanakah Ulama kita menyikapinya? Diantara merekapun ada perbedaan pendapat? Lalu bagaimana kita sebagai umat menyikapi pendapat mereka, padahal mereka adalah "pegangan" kita. KIta sebagai muslim dilarang bersikap taklid (ikut ikutan tanpa tahu apa alasannya). Agar kita bisa melangkah kita harus mempelajari bagaimana da mengapa mereka membolehkan atau mengharamkannya. Selanjutnya pelajari dengan semaksimal sambil memohon petunju akan kebenarana. kepada Allah.

Sistem perdagangan semacam ini sangat menggiurkan sebagian anggota masyarakat karena menjanjikan keuntungan besar dalam waktu yang relatif singkat.

Sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member dari perusahaan yang melakukan praktek MLM. Secara rinci, sistem perdagangan Multi Level Marketing MLM) dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Mula-mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi member dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk perusahaan dengan harga tertentu.

b. Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir keanggotaan (member) dari perusahaan.

c. Sesudah menjadi member, maka tugas berikutnya adalah mencari calon member-member baru dengan cara seperti di atas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.

d. Para member baru juga bertugas mencari calon member-member baru lagi dengan cara seperti di atas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan.

e. Jika member mampu menjaring member-member baru yang banyak, maka ia akan mendapat bonus dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring, maka semakin banyak pula bonus yang akan didapatkan, karena perusahaan merasa diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.

f. Dengan adanya para member baru yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan, maka member yang berada pada level pertama (member awal/ pelopor), kedua dan seterusnya akan selalu mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan karena perusahaan merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru yang sekaligus menjadi konsumen paket produk perusahaan.

Di antara perusahaan MLM, ada yang melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal di perusahaan tersebut dengan janji akan memberikan keuntungan sebesar hampir 100 % dalam setiap bulannya. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak semua perusahaan mampu memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan, bahkan terkadang berusaha menggelapkan dana nasabah yang menjadi member perusahaan. Berkenaan dengan hal ini, Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta memfatwakan:

1. Bahwa sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) diperbolehkan oleh syari'at Islam dengan syarat¬-syarat sebagai berikut:

a. Transaksi (akad) antara pihak penjual (al-ba'i) dan pembeli (al-musytari) dilakukan atas dasar suka sama suka (' an taradhin), dan tidak ada paksaan;

b. Barang yang diperjualbelikan (al-mabi') suci, bermanfaat dan transparan sehingga tidak ada unsur kesamaran atau penipuan (gharar);

c. Barang-barang tersebut diperjualbelikan dengan harga yang wajar.

Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 275:

وَأَحَلَّ اللّهُ البَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا(275) البقرة

Artinya:
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. AI-Baqarah, 2: 275

Demikian juga firman-Nya dalam surat an-Nisa 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيما(29) النساءً

Ayat:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. An-Nisa', 4: 29

Jika sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) dilakukan dengan cara pemaksaan; atau barang yang diperjualbelikan tidak jelas karena dalam bentuk paket yang terbungkus dan sebelum transaksi tidak dapat dilihat oleh pembeli, maka hukumnya haram karena mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar). Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ ( رواه مسلم)

Artinya:
Rasulullah SAW melarang terjadinya transaksi jual beli yang mengandung gharar"

2. Jika harga barang-barang yang diperjualbelikan dalam sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) jauh lebih tinggi dari harga yang wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga barang yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagai sharing modal dalam akad syirkah mengingat pihak pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan, yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapatkan keuntungan secara estafet. Dengan demikian, praktek perdagangan Multi Level Marketing (MLM) tersebut mengandung unsur kesamaran atau penipuan (gharar) karena terjadi kekaburan antara akad jual beli (al-bai'), syirkah, sekaligus mudlarabah karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai 'amil (pelaksana/ petugas) yang akan memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli (member) baru.

3. Jika perusahaan Multi Level Marketing (MLM) melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk menanamkan modal di perusahaan tersebut dengan janji akan memberikan keuntungan tertentu dalam setiap bulannya, maka kegiatan tersebut adalah haram karena melakukan praktek riba yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT. Apalagi dalam kenyataannya tidak semua perusahaan mampu memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan, bahkan terkadang menggelapkan dana nasabah yang menjadi member perusahaan. Sebagaimana telah difirmankan Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 279:

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ(279) البقرة

Artinya:
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. AI-Baqarah, 2: 279.

Berhubung di antara sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) ada yang diharamkan oleh syari' at Islam, maka hendaklah Umat Islam agar berhati-hati dalam melakukan kegiatan perdagangan dengan system Multi Level Marketing (MLM). Pilihlah sistem perdagangan Multi Level Marketing (MLM) yang benar-benar diperbolehkan oleh syari'at Islam karena memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas.

Skema/Pola/Rencana Multi-Level Marketing
Oleh:
Panitia permanen Saudi Arabia untuk Riset dan Fatwâ
Jenis bisnis yang berdasarkan skema/pola piramida di atas atau sering disebut “multi-level marketing”– adalah tidak syah (haram). Tujuan riil dari bisnis seperti itu adalah memperoleh komisi yang didapatkan dari memperkenalkan anggota baru kepada perusahaan dan tidak mendapat keuntungan dari penjualan produk itu sendiri. Ketika komisi yang didapatkan mencapai ribuan dolar, pendapatan yang dikumpulkan dari penjualan produk mungkin hanya beberapa ratus. Siapapun yang berakal yang diberi suatu pilihan dalam skema/pola tersebut tentu akan sungguh-sungguh berusaha mendapatkan komisi itu.
Ini menjadi alasan mengapa perusahaan semacam ini, ketika mempromosikan diri mereka, sangat tergantung untuk menunjukkan jumlah yang besar dari komisi nyata yang mereka berikan. Mereka membujuk anggota dengan janji keuntungan yang besar dibandingkan jumlah pembayaran awal yang rendah yang sering direpresentasikan sebagai “harga produk”. Produk perusahaan ini adalah marketing, bagaimanapun, adalah hanya suatu alasan palsu (dalih) untuk memperoleh komisi dan untuk mendapatkan keuntungan dari komisi tersebut.
Dengan hakikat bisnis seperti itu, Hukum Islam tentang itu adalah bahwa itu tak syah. Pertimbangan bahwa itu menjadi tak syah adalah sebagai berikut:
1. Bisnis ini mengandung dua macam bunga yang tak syah:
a. Riba al-fadl: bunga sebagai hasil dari suatu pertukaran barang yang sejenis dengan cara berbeda.
b. Riba al-nasî’ah: bunga yang dibayar sebagai pengganti kredit.
Anggota membayar sejumlah uang yang lebih kecil di awal untuk memperoleh umlah uang yang lebih besar pada suatu waktu kemudian sebagai gantinya. Ini ada dasarnya adalah suatu pertukaran sejumlah uang dengan jumlah uang yang lain dengan nilai yang lebih besar dengan waktu yang tertunda. Ini adalah unga yang tak syah, seperti yang dinyatakan dengan jelas oleh kitab suci dan yang disetujui oleh consensus (mufakat ulama).
Produk yang dijual oleh perusahaan hanya suatu dalih sebagai transaksi yang riil yang sedang berlangsung. Hal ini tidaklah dimaksudkan dan bukan inti dari bisnis itu sendiri, maka tidak mempengaruhi apapun dalam masalah hukumnya.
2. Bisnis ini mengandung sedikit banyak transaksi ketidak-pastian ( gharar).
Ketidak-Pastian ini berasal dari anggota yang tidak mengetahui ya atau tidaknya ia dapat memperoleh jumlah anggota baru yang diperlukan untuk memperoleh komisinya.
Skema/pola Piramida ini, tak peduli berapa lama itu akan berlangsung, pada akhirnya akan menjumpai suatu akhir. Anggota yang menjalankan skema/pola piramida ini tidak mengetahui dilevel mana ia tergolong di dalamnya; apakah ia akan berada di salah satu dari tingkatan yang lebih tinggi yang akan menerima laba besar atau di dalam tingkatan yang yang lebih rendah yang tidak akan memperoleh apa-apa.
Sebetulnya, mayoritas dari para anggota akan jadi kalah-kalahan dan hanya minoritas/sedikit yang akan beruntung. Jadi, kerugian dalam rencana yang seperti ini menonjol/sangat jelas, dan ini menjadi sifat alami jual beli dengan ketidak-pastian. Di sini satu kasus di mana ada ketidak-pastian antara dua hasil, yang hampir bisa dipastikan di antara mereka menjadi yang terburuk.
Nabi (saw) melarang transaksi dengan ketidak-pastian, seperti yang diceritakan oleh Abû Hurayrah yang berkata: “ Rasulullah (saw) melarang transaksi bisnis yang ditentukan oleh lemparan batu dan suatu transaksi bisnis yang mengandung ketidak-pastian.” [ Sahîh Muslim( 1513)]
3. Bisnis ini seperti mengambil uang dari orang lain dengan licik.
Pada dasarnya ini hanyalah perusahaan yang mendapatkan keuntungan bersama dengan mereka yang membujuk orang lain melalui penipuan supaya menyerahkan uang mereka kepada perusahaan.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” [ Sûrah al-Nisâ’: 29]
4. Bisnis ini mengandung penipuan dan kecurangan.
Perusahaan menipu orang-orang dengan salah menggambarkan produk nya sebagai bisnisnya, padahal penjualan produk bukanlah tujuan sebenarnya. Perusahaan juga menjalankan penipuan dengan menjanjikan komisi yang besar kepada para calon anggota, padahal komisi besar seperti itu kebanyakan para anggota tidak akan mungkin mencapainya. Ini adalah penipuan haram.
Nabi (saw) bersabda: “Barang siapa yang menipu kita bukanlah salah satu dari golongan kita.” [ Sahîh Muslim ( 101)]
Pelaksanaan bisnis seperti ini tidak bisa digambarkan sebagai kesepakatan keperantaraan (brokerage agreement). Seorang perantara menerima komisi untuk penjualan produk/barang riil,sedangkan dalam bisnis ini tidak ada produk riil yang dijual di sini. Sesungguhnya, anggota dalam sebuah skema/pola multi-level marketing sebenarnya membeli hak untuk menjual produk itu.
Juga, dalam sebuah kontrak riil keperantaraan, tujuan di belakang itu sebenarnya untuk menjual produk, sedangkan di dalam multi-level marketing, tujuannya adalah menjual keanggotaan dan bukan produk itu sendiri. Inilah alasan kenapa seorang anggota bekerja keras untuk menjual kepada orang lain hak untuk menjual kepada orang lain, sehingga pada gilirannya mereka dapat menjual kepada orang lain hak untuk menjual kepada orang lain dan begitu seterusnya.
Di dalam sebuah kesepakatan keperantaraan, sebagai pembanding, perantara berusaha agar produknya terjual kepada seseorang yang benar-benar ingin membeli produk itu. Demikian juga komisi ini (MLM), tidak bisa digambarkan sebagai hadiah atau bonus.
Sekalipun kita akan menggolongkan komisi ini sebagai hadiah, Hukum Islam memandangnya sebagai hadiah yang tidak syah (haram). Tidak semua hadiah diijinkan oleh Hukum Islam. Sebagai contoh, hadiah dari seorang penerima pinjaman kepada pemberi pinjamannya dianggap sebagai riba.
Inilah alasan kenapa ` Abd Allah b. Salâm, sahabat yang terkenal, berkata kepada Abû Bardah: “Kamu berada di daratan di mana praktek bunga tersebar luas. Oleh karena itu, jika seseorang berhutang kepada kamu dan memberi mu sebuah hadiah, katakanlah, jerami, sepikul gandum, atau setumpuk makanan– maka itu adalah bunga.” [ Sahîh al-Bukhârî ( 3814)]
Suatu hadiah menentukan tujuan di belakangnya. Karena alasan ini, ketika seorang pengumpul Zakât datang kepada Nabi (saw) dan berkata: “Ini adalah untuk kamu dan ini apa diberikan kepada aku sebagai hadiah.”
Nabi (saw) yang menjawab ini dengan mengatakan: “ Apakah kamu telah duduk di rumah dengan ibu dan bapakmu, akankah ia datang kepada kamu dan memberi kamu hadiah itu?” [ Sahîh al-Bukhârî ( 2597) dan Sahîh Muslim( 1832)]
Komisi yang diberikan oleh perusahaan di dalam suatu skema/pola piramida diberikan hanya atas dasar keanggotaan. Oleh karena itu, apapun nama yang kita pilih untuk menamainya, itu tidak akan mempengaruhi wujud sebenarnya atau aturan hukum yang yang mengenainya.
Panitia Permanen Saudi Arabia untuk Riset dan Fatwâ
Ketua:
Sheikh `Abd al-`Azîz Al al-Sheikh
Anggota:
Syekh Sâlih al-Fawzân
Syekh ` Abd Allah al-Ghudayân
Syekh ` Abd Allah al-Mutlaq
Syekh ` Abd Allah al-Rakbân
Syekh Ahmad al-Mubârakî

Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia

Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia

(Esei Hukum Peri Umar Farouk) Agama merupakan suatu visi tentang sesuatu yang ada di atas, di balik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara; sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan; sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini; … sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan…
Suatu agama merupakan agama yang kuat bila dalam ritual dan cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakkan hati… Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan…” – Alfred North Whitehead, 1967



Pendahuluan

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.

Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).

Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.

Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.

Perkembangan Perbankan Islam

Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.

Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .

Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.

Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .

Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .

Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .

Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).

Perbankan Islam di Indonesia

Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.

Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.

Hukum Perbankan Islam

Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan:

“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.”

Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.

Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :

Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :

“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”

Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :

Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.

Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.

Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:
No. NOMOR FATWA TENTANG
1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro
2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan
3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito
4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah
5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam
6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna
7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah
9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah
10 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah
11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah
12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah
13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah
14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah
17 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
18 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
19 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh
20 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
22 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Paralel
23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
24 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box
25 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn
26 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas
27 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik
28 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
29 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
30 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah
31 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Utang
32 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah
33 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah Mudharabah
34 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syari’ah
35 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syari’ah
36 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
37 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
38 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
39 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji
40 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal
41 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah
42 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card
43 43/DSN-MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta’widh)

Penutup

Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

Menjadi Entrepreneur Islami

Menjadi Entrepreneur Islami

Dalam berkehidupan berbangsa, bernegara atau beragama, sebuah kaum, komunitas atau apaun istilahnya, tidak akan bisa tegak apabila didalamnya tidak ada sebuah ketahanan. Baik dari ketahanan secara politik, militer ataupun ekonomi. Ketiga hal tersebut adalah pilar utama dalam sebuah kehidupan sebuah kaum atau negara.Ketiganya saling menguatkan dan menjadi sebuah kesatuan yang tidak akan terkalahkan menghadapi setiap perubahan zaman di sekelilingnya. Dalam hal ini eksyarBlog ingin mengajak pembaca dalam kaitannya dengan sisi ekonomi.

Ada pertanyaan dan fakta yang harus kita tahu dan mencari solusinya:
1. Kita ummat islam seringkali diserang iman kita dengan senjata ekonomi. Sudah banyak sekali cerita bahwa sodara sodara kita, akhirnya melepaskan akidah mereka karena hal ini. Kekurangan ekonomi. Mereka di datangi para misionaris dan mengiming imingi dengan kecukupan ekonomi dengan syarat melepaskan akidah dan berpindah keyakinan. Akankah akan berdiam saja?
2. Dalam dakwah, seringkali para pendakwah mendapatkan kesulitan untuk menyiarkan agama Allah ini, karena tidak adanya sarana prasaranya. Kita menjadi bulan bulanan sikon. Sehingga tidak bisa efektif dan optimal dalam mengapresiasi semangat dan ilmu die kita. Dan ini tentunya juga berkaitan dengan dana. dan dana tidak lepas dari kegiatan ekonomi.

Setelah kita belajar ilmu ekonomi, atau apapun itu, sangatlah tidak lucu apabila ilmu itu hanya menjadi sebuah ilmu, tanpa sebuah penerapan. Ketika kita belajar kita selalu bergelut dan disuguhkan sebuah gambaran yang seringkali begitu fantastis, indah dan mudah. Di dalam forum forum, di seminar ataupun di perbincangan kaki lima, kita seolah menjadi "dewa" yang tahu segalanya. Seperti komentator bola, seringkali menyalahkan blunder ataupun langkas salah dari pemain. Yang harusnya ini, harusnya begitu, tetapi dia sama sekali tidak terjn di lapangan. Dia hanya di balik meja ditemani segelas kopi dan sekotak wadah roti. Apakah mereka bisa merasakan, bagaimana perjuangan para pemain di lapangan? stamina yang terkuras, peliknya strategi dan sejenisnya? :). Bukan saya mau menyalahkan semua komentator, tetapi dalam kaitanya dalam ilmu ekonomi yang kita bersama pelajari, hal itu sangat tidak tepat ketika kita tidak mau "terjun" langsung.

Eksyar Blog, tiba tiba ingin mengulas tentang penerapan ilmu ekonomi yang sebisa mungkin yang sesuai syariah. Bukan dalam tataran teori di atas kertas dengan segudang analisa dan hitung-hitungan di atas awan, Tetapi sebuah penerapan. Iya sebuah penerapan. Karena semua ilmu intinya adalah pada penerapannya.

Kita umat islam, maaf bukan sara, seringkali kalah dan memang harus kita akui memang begitu adanya, dari orang orang china. Bisa kita liat di sekitar kita. Mungkin kita bisa menyalahkan "sistem makro" kita, yang tidak mendukung keoptimalan aktivitas ekonomi. Tetapi meskipun sistem makro tersebut bagus bila, individunya tidak mempunyai mentalitas entepreneur tetaplah menjadi sistem yang mandul.

Sudah saatnya kita muslim, membangkitkan perekonomian islam (meskipun sebenarnya dari dulu sudah dikumandangkan). Bila kita belum bisa mengawali dengan sistem makro islam yang bagus, setidaknya kita melangkah dari pribadi kita, pribadi pribadi sebagai muslim. Sesuatu yang besar pasti dimulai dari yang kecil. Kebangkitan ummah tentu harus diawali dengan para pioner. Tidak perlu dengan ilmu muluk muluk. Bisa dengan ilmu yang sederhana, dengan berjalannnya waktu kita bisa sambil belajar untuk semakin baik. Tidak perlu menunggu pintar, karena pintar itu relatif, karena pintar itu bukan kewajiban dan yang pasti, pintar itu bisa diambil dari pengalaman. Yang utama adalah kita harus :BERTINDAK.ACTION.

Apakah anda takut? Takut gagal, takut tidak punya modal,atau ketakutan ketakutan lainya? di postingan berikutnya akan kita bahas :). Bagi anda yang membaca ini, mari kita renungkan. Kita tidak akan bisa berubah, selama kita tidak mau berubah. Akankan waktu kita akan kita habiskan hanya dengan berdiam? Dalam sebuah hadist Rosulullah mengungkapkan yang intinya, rezeqi itu sembilan puluh berapanya (lupa maaf :) ) adalah ada di perniagaan. Dengan itu telah diisyaratkan, sebenarnya rezeqi itu sudah dibuka pintunya, hanya saja kita tidak tahu atau tidak mau untuk membuka dan melangkah. Mari kita menjadi entrepreneur entrepreneur muslim yang dengannya kita juga bisa memberikan kontribusi untuk ummah juga investasi kita di akhirat.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons